Minggu, 07 Desember 2014

FATMAWATI SOEKARNO: “FIRST LADY-NYA INDONESIA”

Edit Posted by with No comments
KENANGAN DAN JEJAK 3 IBU NEGARA

Ibu Negara, predikat ini bukan sekedar julukan yang diberikan kepada seorang perempuan yang suaminya adalah seorang kepala negara. Predikat ini melekat sebagai amanah dan tugas yang multi tasking. Sebagai istri, ibu dari putra-putrinya, sekaligus sebagai warna negara yang bisa memberikan kontribusi besar bagi negara. Ibu Negara juga menjadi “duta” dan simbol bagi kaum perempuan di negaranya. 

FATMAWATI  SOEKARNO: “FIRST LADY-NYA INDONESIA”
Mantan ibu negara ini menjadi sosok perempuan yang patut diteladani karena gigih mempertahankan prinsipnya. Ketika menjalankan perannya sebagai seorang ibu, ia mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Begitu pula ketika berperan sebagai istri dari seorang pemimpin seperti Bung Karno, ia jalankan dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Sebagai perempuan yang anti poligami ia memegang prinsip bahwa poligami hanya merendahkan martabat perempuan. Karena teguh berpegang pada prinsipnya itu, ia rela hidup dalam kesendirian dan membuktikan kepada semua orang bahwa ia adalah sosok perempuan mandiri.

Masa Muda Yang Cerdas
Di tengah-tengah merebaknya semangat patriotik serta bergejolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak perempuan yang manis pada tanggal 5 Februari 1923 di sebuah rumah bergandeng di Kampung Pasar, Bengkulu. Oleh orang tuanya diberi nama Fatmawati yang berarti bunga teratai.  Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke enam dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi.  Ayah Fatmawati juga terkenal sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. ibunya bernama Siti Chadidjah. Fatmawati dididik dan dibesarkan kedua orangtuanya di Bengkulu.
Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan belajar agama pada datuknya (kakeknya) dan seorang guru agama. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai  sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu.

Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Kala itu, ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota pengurus Nasyiatul Aisyiah, sebuah organisasi yang bernaung di bawah Muhammadiyah.  Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati. Jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran  Islam yang dimiliki Fatmawati membuat Soekarno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau. Meskipun secara emosional Fatmawati juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Pernikahan Fatmawati dan Soekarno dilangsungkan di Jakarta pada tahun 1943 dalam situasi yang memprihatinkan dan kondisi yang serba tak menentu. Untuk mendampingi sang suami, Fatmawati pun meninggalkan kampung halamannya dan selanjutnya menjalani hidup barunya di Jakarta. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati merupakan istri yang ketiga dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Namun ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari 1945 hingga 1967. Meskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati diri yang sudah lama tertanam sejak remaja, masih tetap melekat kuat. Kepribadiannya yang kokoh  dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah.

Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka
Di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia,  belum ada yang memikirkan arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa, tetapi Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan membolehkan penggunaan simbol-simbol kebangsaan seperti bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saat itu tak mudah mendapatkan kain untuk bendera, karena sebagian rakyat masih menggunakan karung goni untuk membalut tubuhnya. Bahkan Fatmawati pun tak punya kain yang lebar untuk dijadikan bendera merah putih. Hingga pada saat itu, Fatmawati hanya mampu membuat bendera dengan ukuran 50 cm.

16 Agustus 1945 terjadi peristiwa Rengasdengklok dimana para pemuda menuntut Soekarno-Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Malam itu juga Fatmawati berniat membuat bendera dengan ukuran yang lebih besar lagi. Fatmawati menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai dalam lemarinya namun ia tak punya kain merah sama sekali. Beruntung ada Lukas Kastaryo yang memang sering berada di sekitar kediaman Soekarno, ia lantas berinisiatif mencarikan kain merah untuk Fatmawati. Lukas keliling Jakarta malam itu juga. Sekian lama, akhirnya ia menemukan kain merah yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto. Lukas menebusnya dengan harga 500 sen dan menyerahkannya ke Fatmawati. Akhirnya Fatmawati menyelesaikan bendera merah putih yang baru, malam itu juga dengan ukurannya 276 x 200 cm, dijahit tangan karena tak ada mesin jahit. Bendera baru ini akhirnya dikibarkan tepat 17 Agustus 1945 dan menjadi bendera pusaka Negara di tahun-tahun sesudahnya. Air mata Fatmawati seketika mengalir penuh kebanggaan tatkala pandangannya tertuju ke langit menyaksikan bendera merah putih yang dijahitnya berkibar di bumi pertiwi. Ia tidak menyangka hasil karyanya menjadi kenangan bersejarah bagi bangsa Indonesia dan menjadi bendera pusaka negara di tahun-tahun sesudahnya. Karena usia tuanya, sang Saka terakhir kali berkibar pada tahun 1969 untuk kemudian diistirahatkan di Museum Nasional. Selanjutnya, pemerintah membuat bendera duplikat dengan ukuran 300 x 200 cm dan Bendera Pusaka hanya mendampingi pada peringatan Hari Kemerdekaan RI di Istana Negara setiap tanggal 17 Agustus.

Prinsip Tegas Anti Poligami
Pada saat Sukarno meminta ijin untuk menikahi seorang perempuan bernama Hartini, Fatmawati masih berada dalam proses penyembuhan dari sakit setelah melahirkan Guruh. Mendengar niat suaminya itu, perasaan Fatmawati seketika remuk redam. Meski hatinya hancur, ia dapat memahami keinginan sang suami. Fatmawati kemudian meminta Bung Karno untuk mengembalikannya kepada orang tua serta menyelesaikan permasalahan dengan segera. Poligami dimata Fatmawati menginjak-injak martabatnya. Oleh karena itu ia tetap berpegang pada prinsipnya, menolak poligami. Setelah berpisah, Fatmawati tingga[ di jalan Srieijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang pada akhirnya dapat membeli rumah tersebut dari hasil usaha sendiri. Fatmawati menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Mei 1980 di General Hospital Kuala Lumpur usai menunaikan ibadah umroh di Mekah. Ia terkena serangan jantung saat pesawat yang ditumpanginya singgah di Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta. Kata-kata terakhir beliau sebelum meninggal waktu itu :

“Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka."

Saat ini nama Fatmawati diabadikan pada sebuah nama rumah sakit dan nama jalan di Jakarta Selatan. Sedangkan nama Fatmawati Soekarno diabadikan sebagai nama bandar udara Bengkulu, kota kelahiran Fatmawati.


0 komentar:

Posting Komentar