KENANGAN DAN JEJAK 3 IBU NEGARA
Ibu Negara, predikat ini bukan
sekedar julukan yang diberikan kepada seorang perempuan yang suaminya adalah
seorang kepala negara. Predikat ini melekat sebagai amanah dan tugas yang multi tasking. Sebagai istri, ibu dari putra-putrinya, sekaligus sebagai
warna negara yang bisa memberikan kontribusi besar bagi negara. Ibu Negara juga
menjadi “duta” dan simbol bagi kaum perempuan di negaranya.
FATMAWATI SOEKARNO: “FIRST LADY-NYA INDONESIA”
Mantan ibu negara ini menjadi sosok
perempuan yang patut diteladani karena gigih mempertahankan prinsipnya. Ketika
menjalankan perannya sebagai seorang ibu, ia mendidik anak-anaknya dengan penuh
kasih sayang. Begitu pula ketika berperan sebagai istri dari seorang pemimpin
seperti Bung Karno, ia jalankan dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Sebagai
perempuan yang anti poligami ia memegang prinsip bahwa poligami hanya
merendahkan martabat perempuan. Karena teguh berpegang pada prinsipnya itu, ia
rela hidup dalam kesendirian dan membuktikan kepada semua orang bahwa ia adalah
sosok perempuan mandiri.
Masa
Muda Yang Cerdas
Di tengah-tengah merebaknya semangat
patriotik serta bergejolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak
perempuan yang manis pada tanggal 5 Februari 1923 di sebuah rumah bergandeng di
Kampung Pasar, Bengkulu. Oleh orang tuanya diberi nama Fatmawati yang berarti
bunga teratai. Tidak banyak diketahui
orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura
Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke enam dari Kerajaan Putri
Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik,
sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan
mengayomi. Ayah Fatmawati juga terkenal
sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. ibunya bernama Siti Chadidjah.
Fatmawati dididik dan dibesarkan kedua orangtuanya di Bengkulu.
Sebelum memasuki usia sekolah,
Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan belajar agama pada datuknya
(kakeknya) dan seorang guru agama. Semangat untuk belajar agama secara ekstra
terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah
mulai sekolah di HIS (Hollandsch
Inlandsch School) pada tahun 1930. Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan
sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Ketika
harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah
yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti
gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan
Muhammadiyah di Bengkulu.
Fatmawati yang baru menginjak usia
15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat
Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam.
Kala itu, ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota pengurus Nasyiatul
Aisyiah, sebuah organisasi yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya
telah mengakui kecerdasan Fatmawati. Jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir
terhadap ajaran Islam yang dimiliki
Fatmawati membuat Soekarno menyatakan keinginannya
untuk memperistri beliau. Meskipun secara emosional Fatmawati juga terpikat
kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu
saja. Pernikahan Fatmawati dan Soekarno dilangsungkan di Jakarta pada
tahun 1943 dalam situasi yang memprihatinkan dan kondisi yang serba tak
menentu. Untuk mendampingi sang suami, Fatmawati pun meninggalkan kampung
halamannya dan selanjutnya menjalani hidup barunya di Jakarta. Dari pernikahan
itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra,
Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan
Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati merupakan istri yang ketiga dari
Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Namun ia menjadi Ibu Negara Indonesia
pertama dari 1945 hingga 1967. Meskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati diri yang
sudah lama tertanam sejak remaja, masih tetap melekat kuat. Kepribadiannya yang
kokoh dilandasi oleh kesederhaannya yang
tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila
dipahami melalui beberapa fakta sejarah.
Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka
Di antara sekian ratus bahkan
sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia,
belum ada yang memikirkan arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan
bangsa, tetapi Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu
setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan membolehkan
penggunaan simbol-simbol kebangsaan seperti bendera merah putih dan menyanyikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saat itu tak mudah mendapatkan kain untuk
bendera, karena sebagian rakyat masih menggunakan karung goni untuk membalut
tubuhnya. Bahkan Fatmawati pun tak punya kain yang lebar untuk dijadikan
bendera merah putih. Hingga pada saat itu, Fatmawati hanya mampu membuat
bendera dengan ukuran 50 cm.
16 Agustus 1945 terjadi peristiwa
Rengasdengklok dimana para pemuda menuntut Soekarno-Hatta segera
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Malam itu juga Fatmawati berniat membuat
bendera dengan ukuran yang lebih besar lagi. Fatmawati menemukan selembar kain
putih bersih bahan seprai dalam lemarinya namun ia tak punya kain merah sama
sekali. Beruntung ada Lukas Kastaryo yang memang sering berada di sekitar
kediaman Soekarno, ia lantas berinisiatif mencarikan kain merah untuk
Fatmawati. Lukas keliling Jakarta malam itu juga. Sekian lama, akhirnya ia
menemukan kain merah yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto.
Lukas menebusnya dengan harga 500 sen dan menyerahkannya ke Fatmawati. Akhirnya
Fatmawati menyelesaikan bendera merah putih yang baru, malam itu juga dengan
ukurannya 276 x 200 cm, dijahit tangan karena tak ada mesin jahit. Bendera baru
ini akhirnya dikibarkan tepat 17 Agustus 1945 dan menjadi bendera pusaka Negara
di tahun-tahun sesudahnya. Air mata Fatmawati seketika mengalir penuh
kebanggaan tatkala pandangannya tertuju ke langit menyaksikan bendera merah
putih yang dijahitnya berkibar di bumi pertiwi. Ia tidak menyangka hasil
karyanya menjadi kenangan bersejarah bagi bangsa Indonesia dan menjadi bendera
pusaka negara di tahun-tahun sesudahnya. Karena usia tuanya, sang Saka terakhir
kali berkibar pada tahun 1969 untuk kemudian diistirahatkan di Museum Nasional.
Selanjutnya, pemerintah membuat bendera duplikat dengan ukuran 300 x 200 cm dan
Bendera Pusaka hanya mendampingi pada peringatan Hari Kemerdekaan RI di Istana
Negara setiap tanggal 17 Agustus.
Prinsip Tegas Anti Poligami
Pada
saat Sukarno meminta ijin untuk menikahi seorang perempuan bernama Hartini,
Fatmawati masih berada dalam proses penyembuhan dari sakit setelah melahirkan
Guruh. Mendengar niat suaminya itu, perasaan Fatmawati seketika remuk redam.
Meski hatinya hancur, ia dapat memahami keinginan sang suami. Fatmawati
kemudian meminta Bung Karno untuk mengembalikannya kepada orang tua serta
menyelesaikan permasalahan dengan segera. Poligami dimata Fatmawati
menginjak-injak martabatnya. Oleh karena itu ia tetap berpegang pada
prinsipnya, menolak poligami. Setelah berpisah, Fatmawati tingga[ di jalan
Srieijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang pada akhirnya dapat membeli
rumah tersebut dari hasil usaha sendiri. Fatmawati menghembuskan nafas
terakhirnya pada 14 Mei 1980 di General Hospital Kuala Lumpur usai menunaikan
ibadah umroh di Mekah. Ia terkena serangan jantung saat pesawat yang
ditumpanginya singgah di Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke
Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak,
Jakarta. Kata-kata terakhir beliau sebelum meninggal waktu itu :
“Datang ke Mekah sudah menjadi
pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat
serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya
diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk cita-cita seperti semula yaitu
cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka."
Saat ini nama Fatmawati
diabadikan pada sebuah nama rumah sakit dan nama jalan di Jakarta Selatan.
Sedangkan nama Fatmawati Soekarno diabadikan sebagai nama bandar udara
Bengkulu, kota kelahiran Fatmawati.
0 komentar:
Posting Komentar